http://www.mediafire.com/?njxo5k22vd2nm6u
http://www.mediafire.com/?6ii983cc3fi8he6
Wednesday, March 16, 2011
Tuesday, March 1, 2011
Komunikasi Dari Banyak Media
Saat ini orang-orang yang memiliki kecerdasan majemuk tak terelakkan memiliki akses terhadap media. Mereka membaca
buku atau koran, mendengarkan radio, menonton televisi, atau media massa lainnya. Namun, tidak ada jaminan bahwa
menjadi cerdas juga memiliki kecerdasan bermedia (media literacy).
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa kemudahan bagi siapa pun memelajari ilmu dan pengetahuan
dari media massa. Media seperti perpustakaan yang koleksi bacaannya dan visualnya dapat dibawa pulang ke rumah. Tak
heran jika kita dapat membangun kecerdasan lewat akses terhadap media. Misalnya, seorang anak yang belum masuk
sekolah di Jakarta dapat menguasai bahasa Inggris tanpa diketahui orangtuanya! Selidik punya selidik, sang anak yang
istimewa ini sering menonton film Barat di televisi. Ia cerdas berkat televisi.
Menganggap media sebagai sumber informasi yang bermanfaat semata-mata dapat menjerumuskan manusia ke kubangan
yang mereduksi kualitas hidup. Tak dapat dimungkiri bahwa banyak produk media tidak sesuai dengan nilai-nilai sosietal yang
hendak dibangun, misalnya ajakan kepada gaya hidup hedonis, pornografi dan pornoaksi, agresivitas, bullying, politicking,
dan konstruksi lain dengan agenda tersembunyi. Banyak pihak melakukan persuasi kepada khalayak melalui tayangan yang
“cantik” di media, tetapi sebetulnya punya niat yang kurang baik. Iklan-iklan yang mengundang decak kagum berserakan,
tetapi sebetulnya mengajak kita untuk merokok.
Di sisi lain, menganggap media sebagai hal yang harus disingkirkan juga menghilangkan peluang untuk kita mengasah
kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Howard Gardner (1999), mengemukakan definisi kecerdasan yakni suatu
potensi biopsikologis untuk memproses informasi yang dapat diaktifkan dalam suatu latar kultural untuk memecahkan
masalah atau menciptakan produk-produk yang merupakan nilai dalam suatu kultur. Jelaslah bahwa kecerdasan dapat diasah
melalui media. Sehingga menafikan media merupakan tindakan yang tidak bijaksana.
Melihat kenyataan bahwa media memiliki dua sisi yang berlawanan itu mencuatkan masalah, bagaimanakah kita menyikapi
dan menyiasati realitas media agar kita mampu mengoptimalkan peran media dalam menumbuh-kembangkan kecerdasan
kita?
Kecerdasan bermedia
Ketersediaan media yang ada di mana-mana (omnipresent), kuasa media yang berpotensi mengubah sikap, kepercayaan
nilai-nilai, dan perilaku-perilaku (omnipotent) berkombinasi dengan kecenderungan masyarakat mengonsumsi
bermacam-macam media (omnivorous) menumbuhkan budaya media di dalam masyarakat. Sehingga, interaksi masyarakat
dan media tak terelakkan lagi. Sekalipun individu berusaha menolak dan menghindarkan diri dari media, ia tetap tak luput.
kecerdasan bermedia menjadi keniscayaan bagi setiap individu. Kecerdasan bermedia (media literacy) adalah suatu
kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menghasilkan komunikasi dalam berbagai bentuk melalui
media.
Dengan kecerdasan bermedia, individu mampu mengelola pesan di media demi membekali diri menghadapi kenyataan hidup
sehari-hari. Pada dasarnya kita menghadapi dua realitas dalam hidup kita, yakni realitas dalam dunia nyata dan realitas di
media (Potter, Media Literacy, 2001). Dunia nyata adalah tempat di mana kita melakukan kontak langsung dengan
orang-orang lain, lokasi, dan peristiwa. Sebagian besar dari kita merasa bahwa dunia nyata ini amat terbatas, sehingga kita
tidak dapat mengambil semua pengalaman dan informasi. Dalam rangka memperoleh pengalaman-pengalaman dan
informasi tersebut, kita melakukan penjelajahan melalui dunia media.
Di situlah letak permasalahannya. Realitas di media, karena tidak alami, amat rentan terhadap distorsi. Karena pesan-pesan
di media dikonstruksi, pesan-pesan itu merupakan representasi dari realitas yang diboncengi nilai-nilai dan sudut pandang,
dan masing-masing bentuk media menggunakan seperangkat aturan yang unik untuk mengonstruksi pesan-pesan. Jadi,
seseorang harus memiliki suatu kecakapan dalam berhadapan dan mengonsumsi media.
Ironisnya, justru media massa tak pernah memberikan pendidikan media literacy secara langsung. Sebab, khalayak yang
cerdas menagih kualitas manajemen media dan pengonstruksian pesan yang pada gilirannya meniscayakan institusi media
merogoh kocek lebih dalam. Bila biaya melansir media menjadi mahal, profit akan menjadi menipis. Tetapi kondisi ini bukan
satu-satunya implikasi. Kesiapan sumberdaya merupakan pokok masalah bagi institusi media yang baru tumbuh di Indonesia.
Dengan begitu, untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi era informasi dan pergaulan antarbangsa diperlukan
rekayasa sosial yang bertujuan membentuk masyarakat yang well-informed tanpa harus menjadi buta media.
buku atau koran, mendengarkan radio, menonton televisi, atau media massa lainnya. Namun, tidak ada jaminan bahwa
menjadi cerdas juga memiliki kecerdasan bermedia (media literacy).
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa kemudahan bagi siapa pun memelajari ilmu dan pengetahuan
dari media massa. Media seperti perpustakaan yang koleksi bacaannya dan visualnya dapat dibawa pulang ke rumah. Tak
heran jika kita dapat membangun kecerdasan lewat akses terhadap media. Misalnya, seorang anak yang belum masuk
sekolah di Jakarta dapat menguasai bahasa Inggris tanpa diketahui orangtuanya! Selidik punya selidik, sang anak yang
istimewa ini sering menonton film Barat di televisi. Ia cerdas berkat televisi.
Menganggap media sebagai sumber informasi yang bermanfaat semata-mata dapat menjerumuskan manusia ke kubangan
yang mereduksi kualitas hidup. Tak dapat dimungkiri bahwa banyak produk media tidak sesuai dengan nilai-nilai sosietal yang
hendak dibangun, misalnya ajakan kepada gaya hidup hedonis, pornografi dan pornoaksi, agresivitas, bullying, politicking,
dan konstruksi lain dengan agenda tersembunyi. Banyak pihak melakukan persuasi kepada khalayak melalui tayangan yang
“cantik” di media, tetapi sebetulnya punya niat yang kurang baik. Iklan-iklan yang mengundang decak kagum berserakan,
tetapi sebetulnya mengajak kita untuk merokok.
Di sisi lain, menganggap media sebagai hal yang harus disingkirkan juga menghilangkan peluang untuk kita mengasah
kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Howard Gardner (1999), mengemukakan definisi kecerdasan yakni suatu
potensi biopsikologis untuk memproses informasi yang dapat diaktifkan dalam suatu latar kultural untuk memecahkan
masalah atau menciptakan produk-produk yang merupakan nilai dalam suatu kultur. Jelaslah bahwa kecerdasan dapat diasah
melalui media. Sehingga menafikan media merupakan tindakan yang tidak bijaksana.
Melihat kenyataan bahwa media memiliki dua sisi yang berlawanan itu mencuatkan masalah, bagaimanakah kita menyikapi
dan menyiasati realitas media agar kita mampu mengoptimalkan peran media dalam menumbuh-kembangkan kecerdasan
kita?
Kecerdasan bermedia
Ketersediaan media yang ada di mana-mana (omnipresent), kuasa media yang berpotensi mengubah sikap, kepercayaan
nilai-nilai, dan perilaku-perilaku (omnipotent) berkombinasi dengan kecenderungan masyarakat mengonsumsi
bermacam-macam media (omnivorous) menumbuhkan budaya media di dalam masyarakat. Sehingga, interaksi masyarakat
dan media tak terelakkan lagi. Sekalipun individu berusaha menolak dan menghindarkan diri dari media, ia tetap tak luput.
kecerdasan bermedia menjadi keniscayaan bagi setiap individu. Kecerdasan bermedia (media literacy) adalah suatu
kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menghasilkan komunikasi dalam berbagai bentuk melalui
media.
Dengan kecerdasan bermedia, individu mampu mengelola pesan di media demi membekali diri menghadapi kenyataan hidup
sehari-hari. Pada dasarnya kita menghadapi dua realitas dalam hidup kita, yakni realitas dalam dunia nyata dan realitas di
media (Potter, Media Literacy, 2001). Dunia nyata adalah tempat di mana kita melakukan kontak langsung dengan
orang-orang lain, lokasi, dan peristiwa. Sebagian besar dari kita merasa bahwa dunia nyata ini amat terbatas, sehingga kita
tidak dapat mengambil semua pengalaman dan informasi. Dalam rangka memperoleh pengalaman-pengalaman dan
informasi tersebut, kita melakukan penjelajahan melalui dunia media.
Di situlah letak permasalahannya. Realitas di media, karena tidak alami, amat rentan terhadap distorsi. Karena pesan-pesan
di media dikonstruksi, pesan-pesan itu merupakan representasi dari realitas yang diboncengi nilai-nilai dan sudut pandang,
dan masing-masing bentuk media menggunakan seperangkat aturan yang unik untuk mengonstruksi pesan-pesan. Jadi,
seseorang harus memiliki suatu kecakapan dalam berhadapan dan mengonsumsi media.
Ironisnya, justru media massa tak pernah memberikan pendidikan media literacy secara langsung. Sebab, khalayak yang
cerdas menagih kualitas manajemen media dan pengonstruksian pesan yang pada gilirannya meniscayakan institusi media
merogoh kocek lebih dalam. Bila biaya melansir media menjadi mahal, profit akan menjadi menipis. Tetapi kondisi ini bukan
satu-satunya implikasi. Kesiapan sumberdaya merupakan pokok masalah bagi institusi media yang baru tumbuh di Indonesia.
Dengan begitu, untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi era informasi dan pergaulan antarbangsa diperlukan
rekayasa sosial yang bertujuan membentuk masyarakat yang well-informed tanpa harus menjadi buta media.
Kepemimpinan Seseorang Yang Dikatakan Sejati
Kepemimpinan sesungguhnya tidak ditentukan oleh pangkat atau pun jabatan seseorang. Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi negerinya.
Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
Justru seringkali seorang pemimpin sejati tidak diketahui keberadaannya oleh mereka yang dipimpinnya. Bahkan ketika misi atau tugas terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa merekalah yang melakukannya sendiri. Pemimpin sejati adalah seorang pemberi semangat (encourager), motivator, inspirator, dan maximizer.
Konsep pemikiran seperti ini adalah sesuatu yang baru dan mungkin tidak bisa diterima oleh para pemimpin konvensional yang justru mengharapkan penghormatan dan pujian (honor and praise) dari mereka yang dipimpinnya. Semakin dipuji bahkan dikultuskan, semakin tinggi hati dan lupa dirilah seorang pemimpin. Justru kepemimpinan sejati adalah kepemimpinan yang didasarkan pada kerendahan hati (humble).
Pelajaran mengenai kerendahan hati dan kepemimpinan sejati dapat kita peroleh dari kisah hidup Nelson Mandela. Seorang pemimpin besar Afrika Selatan, yang membawa bangsanya dari negara yang rasialis, menjadi negara yang demokratis dan merdeka.
Kepemimpinan adalah sebuah keputusan dan lebih merupakan hasil dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang. Kepemimpinan bukanlah jabatan atau gelar, melainkan sebuah kelahiran dari proses panjang perubahan dalam diri seseorang. Ketika seseorang menemukan visi dan misi hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri (inner peace) dan membentuk bangunan karakter yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dalam organisasinya, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).
Justru seringkali seorang pemimpin sejati tidak diketahui keberadaannya oleh mereka yang dipimpinnya. Bahkan ketika misi atau tugas terselesaikan, maka seluruh anggota tim akan mengatakan bahwa merekalah yang melakukannya sendiri. Pemimpin sejati adalah seorang pemberi semangat (encourager), motivator, inspirator, dan maximizer.
Konsep pemikiran seperti ini adalah sesuatu yang baru dan mungkin tidak bisa diterima oleh para pemimpin konvensional yang justru mengharapkan penghormatan dan pujian (honor and praise) dari mereka yang dipimpinnya. Semakin dipuji bahkan dikultuskan, semakin tinggi hati dan lupa dirilah seorang pemimpin. Justru kepemimpinan sejati adalah kepemimpinan yang didasarkan pada kerendahan hati (humble).
Pelajaran mengenai kerendahan hati dan kepemimpinan sejati dapat kita peroleh dari kisah hidup Nelson Mandela. Seorang pemimpin besar Afrika Selatan, yang membawa bangsanya dari negara yang rasialis, menjadi negara yang demokratis dan merdeka.
Subscribe to:
Posts (Atom)